Cerpen Akhir dari Akhir: Komat-Kamit



Cuaca indah berseri membuat kami sangat menikmati perjalanan pulang hingga tidak terasa sampai pada pagar kontrakan. Akhir membuka pintu kost. Aku mengangkat pakaian yang sudah digoreng oleh matahari. Ibu kontrakan datang menyapa. Ya, ini adalah sebuah kebiasaan yang aku sukai. 

Ibu kontrakan sangat murah senyum dan memiliki perhatian layaknya orang tua kandung. Hal tersebut menyebabkan kami tidak bisa move on dari kontrakan ini. Setiap kali ingin pindah, kami selalu mengingat kembali kehangatan Ibu Aminah yang mungkin tidak akan kami dapatkan di tempat lain.

"Assalamu'alaikum Andi, bagaimana kuliahnya hari ini. Pak tampan ke rumah maman, amankan?," ucap Ibu Aminah.

"Pergi ke taman bertemu uang seribu, aman bu."

Aku lanjut bertanya balik mengenai kabar Ibu Aminah dan hampir saja lidahku terpeleset ingin menanyakan Humairah. Apakah ia sudah ada calon imam? Bagaimana kriteria calon Imam yang dinanti Humairah? Apakah aku pantas meminangnya selepas menamatkan masa studi kuliah? Apakah ia mau aku ajak merantu menelusuri luasnya dunia?. Aku hanya memendam pertanyaan itu sendiri. 

“Ibu apa kabarnya?”

“Baik, nak. Cuaca sudah mau gelap, Ibu masuk dulu ya.”

Aku menyegarakan tugasku mengangkat jemuran. Hembusan angin yang kencang membuat beberapa pakaian terbang. Aku dengan sigap mengambilnya. Tiba-tiba di depanku ada Humairah. Ia sepertinya baru pulang dari pertualangan bersama anak-anak. Ia hanya tersenyum lalu masuk rumah dan aku membalas senyumnya. Seketika hatiku berdebar tidak menentu.

“An, sudah belum. Ayo buruan bersih-bersih sebentar lagi waktu sholat. Kita harus on time,” seru Akhir.

Aku langsung masuk ke dalam kamar petak ukuran 4 x 4 meter. Aku melihat Akhir sudah siap-siap menunggu adzan maghrib. Ia memakai peci hitam, berbaju koko, dan membawa sajadah. Nampaknya Ia sudah siap hendak ke masjid.

"Hir tunggu sekejap, on the way."

Aku tidak ingin kalah dari Akhir. Aku juga menggunakan pakaian terbaikku untuk menghadap-Nya. AKu pakai peci berwarna putih, baju koko dan juga membawa sajadah. Kami mulai melangkah. Aku memperhatikan Akhir sibuk berkomat-kamit, mulutnya tidak berhenti terbuka lalu tertutup. Ia sedang melafadzkan zikir.

"Astaghfirullahuladzim, Astaghfirullahuladzim….”

“Hir, berhenti. Kau tidak malu dilihat orang di jalan seperti sedang berkomat-kamit?,” tanyaku.

Tangan Akhir menepuk pundakku.

“An mengapa harus malu. Kita harus menempatkan rasa malu itu pada tempatnya. Malu bila berbohong. Malu bila melakukan dosa. Jika untuk mendapatkan pahala, maka kita tidak perlu malu,” jawabnya.

Mendengar penjelasan Akhir memberikan sebuah insight baru. Aku pun ikut berkomat-kamit.

"Astaghfirullahuladzim, Astaghfirullahuladzim….”


Posting Komentar

0 Komentar